9/27/13

Mantan


"I didn't plan on falling in love with you
and I doubt if you planned on falling in love with me"  - The Notebook










This is the first short stories I wrote in high school


Sasha menyalakan lampu dapur, membuka lemari, membuat secangkir kopi. Coffee becomes her faithful bestfriend selama bertahun-tahun ini. Seketika Sasha sudah duduk di depan meja tv mulai mengerjakan tugasnya. “Teori Antropologi, okay...Profesor Kunjaraningrat, where are you?”, gumamnya. Ia mulai menyusuri tumpukan kertas berantakan mencari bukunya. Tanpa sengaja ia menekan remote TV. “Anak nongkrong, kembali lagi di acara...”, suara seorang presenter terdengar. Sasha tidak memperhatian, ia masih sibuk mencari bukunya. Seharusnya di sini, oh here we are. Budaya adalah..., Sasha mulai mengetik di atas laptopnya. “Malam hari ini telah hadir bintang tamu kita yang akan mempersembahkan sebuah lagu. Mari kita sambut dengan tepuk tangan yang meriah, Nidji”. Seketika suara tepuk tangan riuh terdengar dan suara gitar mulai mengalun pelan. Seperti menangkap radar, ia pelan-pelan menolehkan pandangannya lurus ke depan, memberanikan kedua matanya menatap layar kaca. Lagu ini, katanya dalam hati. Pandangan matanya nanar, hatinya mulai bergolak. “Bila aku jatuh cinta...aku mendengar nyanyian..1000 dewa dewi cinta...menggema dunia...”, sang vokalis mulai bernyanyi. Separuh jiwanya tersedot oleh rangkaian nada yang mengalir. “... Bila aku jatuh cinta...aku melihat matahari..kan datang padaku dan memelukku dengan...sayang...”, lagu terus mengalun. What’s wrong with the song? Entah sudah beberapa lama lagu itu tidak pernah mampir ke kupingnya lagi, antara enggan atau kesibukan yang menjauhkannya dari TV. Tapi detik ini, kembali hatinya dibuat galau. Kenangan itu muncul bertubi-tubi memukulnya mundur ke waktu lalu. Tak terasa genangan air di matanya seperti terjun bebas di pipinya. Matanya menerawang jauh, seolah-olah jiwanya  dirinya ditarik ke masa itu, di waktu lampau.

Akhir agustus 2006

“Sha, i’m so sorry maybe it’s bad news, but it’s the truth. Aku juga nggak nyangka Andri sudah jadian sama...”, Tanti berusaha menjelaskan. “No, it’s okay”, kata Sasha, wajahnya pucat. Pikirannya mencoba merangkai-rangkai kejadian belakangan ini. Andri yang tidak lagi muncul sepulang sekolah, maupun di taman bunga mereka. Yang jelas Andri tidak pernah menemui Sasha lagi di rumahnya. Such a coward. Semuanya cukup menjelaskan, mengapa Andri tidak pernah mengangkat teleponnya lagi. How can I be insensitive?, tanyanya dalam hati. Sasha berusaha berdamai dengan kenyataan yang ada. At least, I know he’s okay now. He’s happy with somebody else, meskipun bukan dengan aku, meski cewek itu harus..  Sasha menggelengkan kepala, tidak berani berpikir lagi. “Soon or later the truth will come up. I do hope they’ll be happy”, katanya sambil menelan ludah. Pahit rasanya. Ketika Sasha melangkah pergi, Tanti hanya bisa melihat temannya itu menghilang dari kejauhan. Hujan turun sesampainya di parkiran. Tapi Sasha tak berhenti melangkah mencari mobilnya. Pulang ke rumah, adalah keinginannya saat itu. Langkahnya terhenti ketika sebuah mobil lewat di depan matanya. Dia tahu persis siapa pemilik mobil itu. Serasa detak jantungnya berhenti, dadanya sesak melihat Andri sedang tertawa bersama cewek di mobilnya. Sasha juga tau persis siapa cewek berambut panjang itu. Andri, can you hear me? Ingin rasanya ia berteriak memanggil kekasihnya, tetapi bibirnya kelu. Mobil itu telah melaju pergi, meninggalkan dirinya seorang diri. 

September 2006

Suatu siang, ketika Sasha sedang berjalan di koridor, ia mendengar sekelompok cowok bernyanyi di kelilingi banyak orang yang berkerumun. “Buang semua...puisi antara kita...berdua..., kau bunuh dia....sesuatu..., yang kusebut itu cinta....”, segerombolan cowok bernyanyi diiringi gitar. Sasha pun menghentikan langkahnya, ketika ia menangkap sosok yang sangat dirindukannya turut bernyanyi. Seketika waktu berhenti, diikuti darahnya berhenti mengalir. Pandangan mereka bertemu, Sasha menarik nafas. Di tengah kerumunan, ia berusaha mencari sinar mata kekasihnya dulu. Tetapi bagai patung, sorot mata Andri dingin. Gagal sudah pencariannya, yang ada di depannya adalah orang asing. “Sadarkan a...ku Tuhan. Dia bukan milikku... Biarkan waktu...waktu...Hapus...aku....”, suara Andri terdengar jelas. Bagaikan tersambar petir, Sasha tersadar dari lamunannya, ia segera berjalan pergi, sedikit berlari. Semakin jauh melangkah, lagu itu tak terdengar lagi. Tapi kata-katanya terus terngiang di benaknya. Hapus aku?...How dare you ask me, after all we’ve been through, kata Sasha dalam hati, berteriak tak percaya. Jantungnya terasa sakit, tak sadar air mata telah menetes.
Sepulang dari sekolah, Sasha segra menghampiri mamanya di teras rumah. “Ma, Sasha mau sekolah ke Bogor sama”, katanya kepada mamaya yang sedang membaca koran. “What? Can we talk about this first?”, tanya mamanya heran. “Ma, aku...”, tiba-tiba seseorang datang memotong perkataan Sasha. “Mama.. Thank you, it’s so pretty!”, kata Sara kakaknya memamerkan gaun pink bercorak bunga barunya. “Dia pasti suka deh”, kata Sara sambil menari-nari dalam gaunnya, membayangkan kencannya nanti malam. Sasha merasakan dilema yang hebat, entah harus senang atau sedih. Seandainya bisa, ia ingin tertawa bersama Sara, larut dalam bahagianya. Tapi dirinya terkucilkan jauh ke dalam penderitaan, mereka tak akan mengerti. Melihat gaun itu hanya menenggelamkan dirinya dalam ingatan masa indahnya dengan Andri. “Menurutmu gimana Sha?”, tanya Sara kepadanya. Nihil, Sasha sudah menghilang menuju kamarnya, diikuti Mama yang menggeleng kebingungan.

Juni 2006. Kencan di Taman Kota.

Di bawah sinar rembulan, untuk pertama kalinya Andri mempersembahkan lagu untuk Sasha, diiringi gitar. “Bila aku jatuh cinta....aku mendengar nyanyian... 1000 dewa dewi cinta menggema dunia.., bila aku jatuh cinta”, Andri menutup lagu itu dengan sangat manis. “You look so beautiful tonight. What a Wonderful dress”, kata Andri memuji Sasha, yang terlihat menawan dibalut floral dress bernuansa pink. “Only a falling-in-love girl, wear this kind of dress”, ada kejujuran di balik kata-kata Sasha. Andri pun tersenyum.

Back to now... 2011

Air mata Sasha pun mengalir. Sekian lama berusaha ia kubur, sekarang bayangan itu menghantui dirinya lagi. Kreekk, tiba-tiba pintu kamar oma terbuka. Sasha cepat-cepat menghapus air matanya, pura-pura mengerjakan tugasnya. “Belum tidur nak?”, oma menghampiri Sasha. “Belum oma, masih banyak tugas”. Seketika oma menangkap sesuatu di wajahnya, lalu ia mengecilkan volume TV. “Oh tidak sayang, jangan bohongi oma”, kata oma mendekat. “Kenapa kamu menangis?”. Sasha terdesak di ujung meja, merasa malu. “Masa lalu oma”, katanya singkat, semakin membawanya ke perasaan bersalah, salah bicara. Bego, bego. Alasan lain kek, Sasha mengutuki dirinya dalam hati. “Jadi, kamu nggak mau cerita ke Oma? Baik. Apapun itu, oma bisa tebak, pasti ini alasan kenapa kamu lari ke Bogor dan tidak pernah pulang ke Surabaya?”, katanya sambil mengamati mata Sasha. “Bukan lari oma. Sasha ke Bogor, karena Sasha pingin hidup lebih mandiri. Biar lebih fokus belajar. Oma liat sendiri kan hasilnya?”, Sasha berusaha membela diri. “Ya, oma melihat usahamu. Kamu pintar dan berprestasi. Tapi kamu tidak sedikit pun bertumbuh dibanding dengan dirimu 4 tahun yang lalu, ketika kamu baru pindah. Tidak lebih dewasa ataupun bahagia. Hari-harimu dipenuhi kerja lembur, belajar sampai larut. Kau seperti robot Sasha. Kamu lupa apa yang dinamakan keluarga. Tentang Mama..papa, kapan terakhir kali kamu menelepon mereka? Teman, kamu bahkan tidak punya teman”. Rangkaian kata itu menusuk dirinya, Sasha enggan menangis lagi. Antara capek berbohong dan perasaan bersalah yang melandanya. “Kamu boleh berlari, tapi jangan meninggalkan orang di sekitarmu. Kapan terakhir kali kamu pulang ke Surabaya? Jangan terlalu keras terhadap dirimu. Kamu sangat berharga bagi oma, ingat itu. Selamat malam, sayang”, oma membelai rambut Sasha dan menciumnya, sebelum ia melangkah masuk ke kamarnya dan menghilang di balik kegelapan. 
Seketika Sasha merasa air matanya kering, tak tersisa setetes pun.Tenggorokannya tercekat, seolah-olah terbangun dari mimpi panjangnya. Lagu itu berakhir, begitu juga dengan deritanya. Di dunia lain di pikiran Sasha, tidak ada lagi yang harus ditangisi, seolah air matanya habis. Segra, Ia merapikan meja dan masuk ke kamar, merebahkan diri di atas kasur. Seketika ia merasa lelah sekali. Seperti habis berlari bertahun-tahun, mengejar angin di depannya. Sia-sia. Dirinya terperangkap di atas lintasan tak berujung. Hari sudah jauh malam, Sasha terlelap dalam tidurnya, wajahnya yang bening membentuk senyuman.
….
Pagi harinya, saat Sasha sedang siap-siap hendak ke kampus, tasnya terjatuh, dompetnya terbuka. Ia memungut sebuah foto yang jatuh. Dilihatnya sekilas foto itu, ada papa, mama, Sasha dan seorang cewek cantik berambut panjang. Pandangan matanya menerawang ke luar jendela, rasa bersalah melanda seketika. Tak lama, Sasha langsung mengambil HP-nya menghubungi seseorang. “Halo”, terdengar suara di seberang. Sasha mengumpulkan kekuatannya untuk berbicara, “Hey Sar, it’s me... How are you?”, Sasha menarik nafas. Untuk sesaat hening, tak ada suara. “Sar, ehm.. tgl 28 nanti aku bakal pulang ke Surabaya”, katanya lega. “Sar, ngomong donk. Kamu nggak suka aku datang nih?”, ia rindu mendengar suara kakaknya. “What? Kata sia..”, protes Sara langsung dipotongnya. “Eits, telat.., suka nggak suka aku sudah pesen tiket untuk pulang ke Surabaya akhir semester ini”, katanya sambil tersenyum puas. Untuk beberapa saat tak satupun kata-kata terucap dari seberang, hanya terdengar isakan. “Damn you Sha, after years you’ve been busy and never have called me, tiba-tiba aja mau pulang!”, suara Sara bergetar antara kaget, marah dan bahagia. “I wanna go home and i will”, Sasha meyakinkannya. Tak sadar air mata Sara menetes, segera ia menghapusnya. “Honey, who’s calling?”, ada orang lain di seberang menginterupsi. “My sister, Sasha. Tumben-tumben loh dia nelpon”, kata Sara menyindir. Sasha pun tertawa, “Hey, kalau aku nggak datang, jangan nyesel loh! Hahaha... Titip salam ya ke Andri”, kata Sasha singkat. “Ndri, salam tuh dari Sasha”, kata Sara menatap Andri yang seketika terlihat tegang. Tiba-tiba Sara sadar ada yang aneh. “Eh, tapi Sha, kok kamu tau itu suaranya Andri? Perasaan aku nggak pernah cerita tentang dia, belum sempat karna kamu udah duluan pergi ke Bogor waktu itu”, ada tanya dibalik suara Sara. 

-B

1 comment:

  1. I read and imagine this story.
    I think, you still on "this" moment, but i know that you will deserve more than that kind of.
    Overall, i dont know where do you learn or study this kind of writing..i'm not a good novelist or reader, but i know, you're talented on this things b!

    Anw, Could you pls make the font more good to read, b?

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...